Janji

 Sebuah novel bahasa Batak.

Sebetulnya, saya merasa bersyukur dan beruntung lahir sebagai perempuan di suku Batak. Bagaimana tidak merasa bersyukur; secara teori, konsep 'Dalihan Natolu' itu terdengar egaliter. Tiga kaki tungku, berdiri dengan sama tinggi, sama kokoh dan sama bebannya antara hulahula, dongan tubu dan boru. Bersama menopang segala sesuatu yg 'diampehon' di atasnya. Namun, disisi lain konsep patriarki dengan marga sedikit banyak mempengaruhi posisi masing² dalam praktek dalihan natolu ini.

Ketika pertama kali membaca novel ini, saya makin merasa sangat diberkati. Diberkati karena dihadiahkan Tuhan seorang suami yg baik, penyayang dan bertanggung jawab. Lalu saya juga mengingat beberapa perempuan batak yg kukenal baik, yg merasa kurang beruntung dalam kehidupan rumah tangga, karena suaminya tidak melakukan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Ada banyak kasus; seorang suami tanpa penghasilan yg saban hari nongkrong di lapo, tak peduli siang atau malam, main judi dan minum sampai mabuk. Ada suami yg berpenghasilan baik, tapi memperlakukan istrinya seperi bawahan yg boleh dibentak, di KDRT bahkan diselingkuhi dengan terang-terangan, dan berbagai macam rupa kasus lain. Tentu, ada juga istri yg berperilaku kurang baik pada suaminya, seperti main judi dan dugem. Tapi tak sebanyak para suami tentunya. Perempuan² yg merasa kurang beruntung itu, terus terkungkung dalam rumah tangga yg menyakitkan karena konsep patrilineal tadi. Sebab, bila sang istri meninggalkan rumah tangganya, maka secara adat dia akan kehilangan hak atas anak-anak yg dilahirkannya. Dan kebanyakan perempuan Batak, merasa hidupnya tak berarti tanpa kasih sayang dari anak-anaknya.

Itulah Riris tokoh utama dalam novel ini-- seorang istri yg pontang panting menghidupi keluuarganya setelah suaminya menikah diam-diam dengan perempuan lain (setelah banyak uang dari usaha yg dibangun susah payah bersama Riris). Sudah harus menghidupi keluarga, Riris juga harus mampu menghadapi masalah dari keluarga besar suaminya itu. Satu hal yg menjadi keberuntungan Riris, dia didukung dan disayangi oleh ibu mertuanya.

Akhir cerita, Riris mampu memenangkan tantangan dan pergumulan dalam hidupnya. Tapi andai ini di dunia nyata, tentu akan menjadi trauma dan akar pahit bagi anak² yg tumbuh dalam keluarga yg sarat emosi dan KDRT. Karena seringkali, seorang suami atau istri merasa egonya menang karena berhasil menundukkan istri/suaminya tanpa memahami bahwa korban dari pertarungan ego suami istri adalah anak-anak mereka. Bathin anak-anak akan merekam pertarungan emosi itu, dan pasti berpengaruh pada karakter dan kehidupan mereka kelak.

Comments

Popular posts from this blog

Gerakan Sopir Jawa Timur Guncang Surabaya: Ratusan Sopir Bersatu Menuntut Keadilan

Penting Tidak Penting